Jejak Kepemimpinan di Medan Kepulauan: Sherly Laos Menyusuri Desa, Merawat Negara Hadir

oleh -424 Dilihat
oleh

Gonone.id – Di Maluku Utara, jarak bukan sekadar hitungan mil laut. Ia adalah ujian bagi negara: seberapa jauh kekuasaan mau berjalan untuk memastikan rakyat benar-benar merasakan kehadirannya. Dalam bentang kepulauan yang tak ramah bagi pemimpin yang gemar menunggu laporan di meja, Gubernur Sherly Tjoanda Laos memilih jalan lain turun langsung, menyeberang laut, masuk desa.
Selama tiga hari, 10–12 Desember 2025, Sherly menjalani kunjungan kerja maraton dari Halmahera Utara, Pulau Morotai, hingga Halmahera Barat. Bukan safari seremonial.

Agenda padat itu memuat isu paling mendasar yang dihadapi masyarakat kepulauan: pangan, kesehatan, infrastruktur, dan konflik sosial.

Di Halmahera Utara, Rabu pagi, 10 Desember, Sherly memulai langkahnya di Gedung Kesenian Kao. Gerakan Pangan Murah jelang Natal dan Tahun Baru menjadi pintu masuk. Harga beras, minyak, dan kebutuhan pokok ditekan agar dapur warga tetap mengepul. Namun di forum itu pula, ia mendengar keluhan tentang gedung kesenian yang mangkrak.

“Terkait bangunan ini sudah ada anggarannya, tapi kenapa belum dikerjakan, nanti saya cek kembali,” ucap Sherly lugas.

Kalimat itu tak berhenti sebagai janji politik. Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, Sufari, yang mendampingi kunjungan, langsung memerintahkan Kajari Halmahera Utara menelusuri persoalan tersebut. Transparansi dan akuntabilitas bukan slogan ia dipraktikkan di tempat.

Agenda berlanjut dari Desa Pediwang hingga Kusuri, lalu ke Lona Ino. Bantuan untuk nelayan diserahkan: kendaraan viar, cool box, armada tangkap, hingga freezer. Pesannya jelas ekonomi rakyat pesisir tak boleh dibiarkan bertahan dengan alat seadanya.

Di Desa Gosoma, Sherly meresmikan SMK Pariwisata Manggala dan menyerahkan bantuan jalan aspal dua kilometer. Jalan tani di Wosia pun ditinjau. Infrastruktur, dalam pandangannya, bukan proyek beton semata, melainkan urat nadi agar hasil kebun dan laut bisa sampai ke pasar.

Rangkaian hari itu ditutup di RSUD Tobelo. Di sana, “Kado Natal Gubernur di Bulan Kasih” tak berbentuk pita dan baliho, melainkan operasi pasien hydrocephalus dan pemeriksaan balita pencegah stunting. Kolaborasi Pemprov Malut, Pemkab Halut, dan PT Phapros Tbk menjadi model intervensi nyata di sektor kesehatan.
“Stunting adalah tantangan serius di wilayah kepulauan seperti Maluku Utara,” kata Direktur RSUD Tobelo, dr. Janta Bony.

Bagi Sherly, Halmahera Utara adalah laboratorium awal kolaborasi. Ia ingin program semacam ini tak berhenti sebagai peristiwa, tetapi menjadi kerja rutin, didorong hingga puskesmas terdepan.Dari sana pula, ia membawa kabar lama yang ditunggu warga pesisir: jalan Loloda Utara.

Wilayah yang puluhan tahun terisolasi itu dijanjikan pembangunan jalan lapen mulai 2026.
“Delapan kilometer kita bangun lebih dulu. Sisanya 2027,” ujarnya.

Masih ada syarat berat: empat jembatan beton dengan kebutuhan dana sekitar Rp100 miliar. Sherly tak menutupinya. Ia menyebutnya sebagai pekerjaan rumah yang harus dikomunikasikan dengan Kementerian PU.

Infrastruktur, baginya, adalah soal keberanian membuka akses, bukan sekadar menghitung untung-rugi politik.

Kamis, 11 Desember, Sherly menjejak Morotai. Kunjungan pertamanya sebagai gubernur terasa personal. Pulau ini menyimpan jejak almarhum suaminya, Benny Laos. Sambutan warga memuat kehangatan sekaligus harapan.

Gerakan Pangan Murah kembali digelar, bantuan nelayan disalurkan. Di hadapan warga, Sherly berbicara tentang satu hal yang kerap terluka pasca-pemilu persatuan.
“Perbedaan politik harus kita akhiri. Pembangunan hanya bisa berjalan kalau kita bersatu,” katanya.

Sore hari, ia menghadiri pentahbisan Gereja GMIH Eben Haezer di Buho-buho. Ketika jemaat mengenang Benny Laos, suasana haru tak terelakkan. Sherly merespons dengan kalimat sederhana, nyaris berbisik, namun sarat makna tentang keteladanan dan keberlanjutan nilai.

Perjalanan berlanjut ke Halmahera Barat, Jumat, 12 Desember. Di Sidangoli Dehe, konflik antarwarga soal klaim lahan relokasi rumah hampir membara. Sherly memilih duduk di teras kantor camat, membuka dialog, mendengar kedua pihak.

Ketika diketahui batas wilayah belum ditetapkan resmi, sikapnya tegas.

“Kalau lahan belum beres, dua-duanya tidak dapat bantuan,” katanya.

Kalimat itu terdengar keras, namun justru meredam emosi. Negara hadir bukan untuk memihak, tetapi memastikan keadilan berjalan melalui musyawarah dan prosedur.

Tiga hari, tiga wilayah, satu pola kepemimpinan. Sherly Laos tidak datang membawa pidato panjang, melainkan mendengar, memutuskan, dan bergerak. Dari pangan murah di desa, kesehatan anak-anak, jalan pesisir, hingga konflik lahan semuanya disentuh langsung.

Di Maluku Utara, di mana laut sering menjadi batas antara pusat dan pinggiran, perjalanan ini memberi pesan sederhana namun kuat pemerintah provinsi tidak sekadar hadir di atas peta, tetapi berjalan bersama rakyat di medan yang sesungguhnya.(NN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.