Rumah Dinas DPRD Tidore: Efisiensi Anggaran dan Simbol Rumah Rakyat

oleh -121 Dilihat
oleh

TIDORE – Sebuah gagasan yang lahir dari organisasi kepemudaan, Gerakan Pemuda Ansor dan Fatayat NU, kini menemukan pijakan politiknya. Pemerintah Daerah Kota Tidore Kepulauan bersama DPRD menyepakati rencana pembangunan rumah dinas bagi 25 wakil rakyat. Bukan sekadar proyek infrastruktur, rencana ini diyakini menjadi langkah strategis untuk menekan beban anggaran daerah.

Selama ini, pemerintah harus mengalokasikan Rp4,4 miliar per tahun hanya untuk membayar tunjangan perumahan. Angkanya terperinci: Rp13 juta per bulan untuk 22 anggota, Rp28 juta untuk dua wakil ketua, dan Rp30 juta untuk ketua DPRD. Semua itu bahkan belum dipotong pajak penghasilan 15 persen.

“Kalau rumah dinas tersedia, otomatis tunjangan perumahan tidak lagi diterima. Anggaran Rp4,4 miliar bisa dipakai untuk kepentingan masyarakat,” kata Wali Kota Tidore, Muhammad Sinen. Ia menambahkan, rumah dinas nantinya tak hanya berfungsi sebagai fasilitas pejabat, melainkan juga rumah singgah bagi warga Oba yang datang ke pusat kota. “Rumah dinas itu adalah rumah rakyat,” tegasnya.

Sinen, yang juga Ketua DPD PDIP Maluku Utara, menekankan urgensi efisiensi anggaran. Apalagi, pada 2026 mendatang, Dana Alokasi Umum (DAU) diperkirakan turun 6–7 persen. “Kalau kondisi keuangan negara stabil, pembangunan rumah dinas bisa kita dorong di 2027,” ujarnya.

Nada dukungan serupa datang dari Ketua DPRD Tidore, Drs. Hi. Ade Kama. Ia menilai usulan Ansor dan Fatayat NU realistis sekaligus berpijak pada regulasi. “Tunjangan yang kami terima diatur dalam PP Nomor 18 Tahun 2017. Tapi kalau rumah dinas sudah ada, otomatis tunjangan perumahan tidak lagi diberikan. Yang tersisa hanya tunjangan rumah tangga,” jelasnya.

Kata-kata Ade Kama menegaskan bahwa DPRD tak menutup mata pada kritik publik soal belanja negara yang terlalu boros untuk fasilitas dewan. Ia bahkan menyinggung bahwa unsur pimpinan tak lagi mendapat tunjangan transportasi. “Karena itu, rumah dinas adalah solusi yang saya setujui penuh,” katanya.

Di balik angka-angka, ada pesan moral yang menguat. Bahwa usulan ini bukan sekadar menghemat anggaran, melainkan mengembalikan makna rumah dinas sebagai ruang bersama. Ia bisa menjadi simbol keterhubungan antara wakil rakyat dan konstituennya—sebuah “rumah rakyat” dalam arti sebenarnya.

Pertanyaannya kini, mampukah eksekutif dan legislatif mengawal ide besar ini hingga terealisasi? Atau sekadar berhenti di meja perencanaan, terhambat oleh dinamika fiskal dan politik anggaran?

Sejarah kerap menilai bukan dari janji, melainkan dari keberanian mengambil keputusan. Dan di Tidore, rumah dinas DPRD bisa menjadi tonggak baru: dari efisiensi anggaran menuju demokrasi yang lebih membumi.(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.