Oba Tersinggung, Wacana DOB Sofifi Dinilai Abaikan Sejarah dan Adat Tidore

oleh -52 Dilihat
oleh

TIDORE – Di tengah hangatnya wacana pemekaran wilayah Sofifi menjadi Daerah Otonom Baru (DOB), suara keras justru datang dari jantung daratan Oba. Masyarakat Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan, menyatakan keberatan bahkan merasa dilecehkan oleh arah diskursus yang belakangan berkembang tanpa menyebut, apalagi melibatkan mereka.

Padahal, menurut mereka, denyut awal gagasan pemekaran justru lahir dari rahim Oba dari semangat lebih dari 75 persen warga Oba yang sejak lama mendambakan percepatan pembangunan menyeluruh di wilayah itu.

Namun kini, ketika wacana DOB Sofifi menggema, Kecamatan Oba seperti dilenyapkan dari peta percakapan.

“Kami tidak anti pemekaran,” ujar Asis Saubada, tokoh masyarakat Oba, dalam pernyataan tegasnya, “Tapi kami menolak keras jika sejarah dan peran masyarakat Oba dihapus begitu saja dari narasi ini.”

Asis bicara bukan tanpa alasan. Ia menyebut perhatian Pemkot Tidore Kepulauan terhadap Kecamatan Oba selama dua dekade terakhir baik di era Wali Kota Capt. H. Ali Ibrahim bersama Wakil Wali Kota Muhammad Sinen, maupun saat ini di bawah Wali Kota Muhammad Sinen dan Wakil Wali Kota Ahmad Laiman sebagai bentuk penghargaan nyata terhadap masyarakat Oba.

“Oba tidak ingin dilibatkan hanya sebagai angka statistik. Kami ingin diakui sebagai bagian sah dari proses ini,” ujarnya.

Sensasi Politik dan Luka Pembangunan

Lebih dari sekadar soal representasi, Asis melihat isu pemekaran ini beraroma politis dan mengandung unsur pengalihan isu. Ia menduga narasi DOB Sofifi digulirkan untuk menutupi stagnasi pembangunan di wilayah-wilayah terpinggirkan.

“Sebut saja Oba Selatan,” katanya. “Jalan utama rusak parah, layanan dasar terbatas, dan kebutuhan masyarakat masih jauh dari kata cukup. Ini yang seharusnya jadi perhatian, bukan melempar isu gaduh yang elitis.”

Menurut Asis, proses pemekaran tidak bisa dilandaskan pada manuver politik atau opini sepihak. Ia mengingatkan bahwa pemekaran wilayah diatur ketat oleh hukum, mulai dari UU Nomor 23 Tahun 2014 hingga PP Nomor 78 Tahun 2007, yang menggarisbawahi pentingnya partisipasi aktif masyarakat, DPRD, dan persetujuan pemerintah pusat.

“Tidak ada satu pun orang yang rela jika rumahnya dibangun di atas pekarangan pribadinya tanpa izin. Begitu pula pemekaran. Ini soal etika, hukum, dan adat,” ujarnya.

Adat dan Sejarah Tak Bisa Dilewati

Asis kemudian mengingatkan bahwa secara administratif, Sofifi adalah bagian dari Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan. Secara adat, ia menyebut wilayah ini bagian dari Kesultanan Tidore entitas budaya dan politik yang memiliki legitimasi sejarah dan masih hidup hingga kini.

“Kesultanan Tidore adalah pemilik sah wilayah ini secara adat. Kota Tidore adalah wilayah yang bertuan. Maka bicara pemekaran Sofifi tak bisa lepas dari Kota Tidore dan Kesultanan Tidore. Siapa pun yang mengabaikan ini, sama saja melecehkan sejarah negeri ini,” tegasnya.

Solusi: Otonomi Khusus, Bukan Pemekaran Elitis

Ketimbang memaksakan pemekaran yang dituding sebagai “proyek elitis berbalut sensasi”, Asis justru menawarkan jalan keluar yang ia sebut elegan dan beretika: menjadikan Kota Tidore Kepulauan sebagai Daerah Otonomi Khusus (DOK).

“Lebih baik kita dorong Tidore jadi Otonomi Khusus sebagai bentuk penghormatan atas sejarahnya,” katanya. “Nomenklatur yang tepat adalah: ‘Ibu Kota Sofifi, Kota Tidore Kepulauan’. Itu lebih bermartabat daripada menjadikan Sofifi sebagai DOB dengan mengabaikan hak masyarakat Oba.”

Sebagai penutup, Asis menyebut bahwa jika pemerintah daerah dan pusat ingin bicara pembangunan dan masa depan yang adil, maka mereka harus lebih dulu bersedia mendengar suara dari wilayah yang selama ini hanya disapa dalam janji, tapi dilupakan dalam pelaksanaan: Oba.

“Jika ingin bicara keadilan dan kemajuan, maka dengarkan dulu suara dari Sofifi,” pungkasnya.(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.