Apel Siaga di Kedaton Tidore: Warga Bangkit Tolak DOB Sofifi, Tuntut Keadilan Adat dan Konstitusi

oleh -38 Dilihat
oleh

GONONE.ID, – Halaman Kadaton Kesultanan Tidore, pagi itu dipenuhi lautan manusia berpakaian putih. Dalam senyap yang penuh ketegangan, ribuan warga Kota Tidore Kepulauan berdiri mengelilingi pusat adat dan sejarah mereka menyuarakan satu hal: menolak pemisahan Sofifi dari tubuh Tidore melalui rencana Daerah Otonomi Baru (DOB), kamis, (17/7/2025).

Wacana pemekaran yang digulirkan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, dan mendapat tanggapan dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, menjadi pemantik kegelisahan masyarakat adat dan warga sipil di wilayah ini. Kekhawatiran akan kehilangan tanah warisan dan wilayah adat yang menyatu dalam narasi sejarah panjang Kesultanan, kini memuncak dalam satu bentuk perlawanan sipil apel siaga rakyat.

Antara Adat dan Kekuasaan

Dalam orasinya, warga mendesak Sultan Tidore, H. Husain Alting Sjah, untuk menyatakan sikap resmi menjaga kedudukan Sofifi sebagai bagian dari wilayah adat Kesultanan Tidore. Wali Kota Muhammad Sinen dan Wakil Wali Kota Ahmad Laiman juga diminta tidak mengambil langkah politik gegabah terkait wacana DOB, yang disebut sebagai sumber perpecahan di tubuh masyarakat Tidore saat ini.

“Kalau Sultan, Wali Kota, dan DPRD tidak berani menolak DOB Sofifi, lebih baik berhenti saja dari jabatan!” seru seorang orator dari tengah kerumunan, disambut pekikan takbir dan yel-yel warga yang memenuhi halaman kedaton.

Situasi yang semakin kompleks ini memperlihatkan keterputusan antara narasi pembangunan yang diusung elite pemerintahan provinsi, dengan semangat pelestarian sejarah dan kehormatan lokal yang dijaga masyarakat adat.

Hukum, Prosedur, dan Manipulasi Politik

Wali Kota Tidore, Muhammad Sinen, dalam keterangannya kepada wartawan usai menemui massa aksi, menegaskan bahwa tidak ada satu pun dokumen resmi terkait usulan pemekaran Kota Sofifi yang masuk ke pihaknya. Ia menilai proses yang seharusnya dimulai dari musyawarah desa dan pelibatan DPRD Kota, telah dilewati begitu saja oleh kelompok yang mengatasnamakan Majelis Rakyat Kota Sofifi (Markas).

“Kalau benar ini keinginan rakyat Oba, kenapa kami tidak dilibatkan dari awal? Bahkan batas wilayah DOB pun tidak jelas. Ini bukan sekadar keputusan politik biasa, ini soal konstitusi, soal rakyat, soal sejarah,” tegasnya.

Pernyataan senada disampaikan Ketua DPRD Kota Tidore, Ade Kama. Menurutnya, mekanisme pemekaran daerah telah diatur secara rinci dalam UU 23/2014 dan PP 78/2007. Tapi realitasnya, mekanisme itu tidak berjalan.

“Semua ini hanya menciptakan kegaduhan yang sumbernya dari atas, bukan dari akar rumput. Kami di DPRD tidak pernah diminta pandangan atau kajian,” kata Ade.

Sultan Bicara, Sejarah Menyala

Dalam suasana yang makin menghangat, Sultan Tidore H. Husain Alting Sjah akhirnya bersuara. Ia menyampaikan bahwa dirinya adalah saksi sejarah pemekaran Provinsi Maluku Utara. Saat itu, sebagai Kapita Laut Kesultanan Tidore, ia berada dalam ruang negosiasi antara Tidore dan Ternate.

“Pemerintah pusat saat itu menetapkan Sofifi sebagai ibu kota definitif Provinsi Maluku Utara, dan kami terima itu sebagai bentuk pengakuan terhadap wilayah kami,” ujarnya.

Ia kemudian menyerukan kebangkitan rakyat Tidore agar tidak terlelap dan membiarkan wilayah adat diintervensi demi kepentingan politik jangka pendek.

“Kalau benar mencintai republik ini, buktikan dengan menjaga amanah sejarah. Jangan jual wilayah hanya karena ambisi kekuasaan,” tegasnya.

Tuntutan dan Gerakan Lanjut

Koordinator Presidium Rakyat Tidore, Jaenudin Saleh, menegaskan bahwa aksi ini adalah respon terhadap manuver sepihak elite politik. Ia menuntut agar Gubernur Sherly Tjoanda dan DPRD Provinsi menghentikan wacana DOB Sofifi, serta memprioritaskan pembangunan infrastruktur ibu kota sesuai mandat yang sudah ada.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga diminta untuk meminta maaf atas pernyataannya di hadapan Komisi II DPR RI, yang dianggap melukai perasaan rakyat Tidore.

“Aksi ini bukan akhir. Kami akan melanjutkan apel siaga ke Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi. Semua perangkat adat dan elemen masyarakat akan turun. Ini bukan tentang elit, ini tentang mempertahankan rumah kami,” tutup Jaenudin.

Catatan Kritis: Demokrasi Harus Mendengar

Aksi di halaman Kadaton hari ini memberi pesan kuat bahwa demokrasi tidak boleh meminggirkan suara rakyat atas nama pembangunan. Rencana DOB yang diputuskan secara top-down, tanpa mendengar masyarakat di akar rumput, hanya akan melahirkan konflik sosial dan luka kultural yang mendalam.

Tidore, dengan sejarahnya yang panjang sebagai penjaga identitas timur Indonesia, kini berdiri kembali dalam tantangan: antara melawan peminggiran atau tenggelam dalam gelombang kebijakan yang melupakan sejarah.(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.