Gonone.id,- Ada yang berbeda dari malam di Tidore, Jumat 4 Juli 2025. Bukan sekadar barisan panjang pelajar yang menggenggam obor menyala, tapi ada sesuatu yang lebih sunyi namun kuat: semacam percakapan batin yang melampaui pawai dan seremoni. Sebuah malam yang menghadirkan tafsir ulang atas makna hijrah bukan sekadar perjalanan Nabi dari Makkah ke Madinah, melainkan perpindahan dari abai menuju peduli, dari lalai menuju hadir.
Ratusan siswa SD, SMP, SMA, hingga santri dan pelajar kejuruan, berdiri rapi di halaman Kantor Wali Kota Tidore. Obor-obor kecil di tangan mereka menjadi titik-titik cahaya yang bergerak pelan ke arah Pantai Tugulufa, menyusuri jalanan yang berubah menjadi lintasan simbolik: menuju terang. Ini bukan sekadar perayaan Tahun Baru Islam 1447 Hijriah. Ini adalah panggung terbuka tentang siapa yang bersedia menjadi bagian dari perubahan dan siapa yang memilih tidak muncul.
Di tengah barisan itu, ada suara yang mengajak merenung. Ismail Dukomalamo, Sekretaris Daerah Kota Tidore, berbicara dengan nada reflektif. Ia berdiri di podium, bukan untuk menggantikan Wali Kota Muhammad Sinen yang sedang bertugas di luar daerah, melainkan untuk menyampaikan pesan yang barangkali sudah lama mendesak untuk diucapkan.
“Hijrah adalah panggilan untuk berubah. Bukan hanya seremoni tahunan. Tapi ajakan menata ulang niat dan sikap kita sebagai bagian dari masyarakat yang ingin tumbuh bersama.”
Namun pidato itu bukan hanya untuk warga. Sebagian besar, justru diarahkan pada mereka yang tidak hadir para Aparatur Sipil Negara (ASN) yang, dalam catatan panitia, absen tanpa keterangan. Dalam wawancara usai acara, Ismail tak menyembunyikan kekesalan. Kalimatnya tegas, bahkan terdengar seperti ultimatum.
“ASN yang tak hadir dan tak memberi keterangan sah, harus dievaluasi. Kalau perlu, potong tunjangan penghasilan. Ini bukan soal pawai. Ini soal keteladanan.”
Di belakang pernyataan itu, berdiri nilai-nilai yang sering tergerus dalam birokrasi: tanggung jawab, kehadiran, dan integritas. Dalam konteks kota yang menamakan dirinya “kota santri”, kehadiran bukan hanya soal fisik. Ia adalah bentuk paling dasar dari keterlibatan sosial. Dan ASN, menurut Ismail, bukan hanya pegawai mereka adalah wajah pertama dari pelayanan publik.
Malam itu, Ketua TP PKK Hj. Rahmawati Muhammad Sinen dan Ketua Dharma Wanita Hj. Nuraen Ismail Dukomalamo turut hadir. Mereka menyaksikan bagaimana anak-anak membawa obor dengan semangat yang mungkin sederhana, tapi sungguh. Di tengah cahaya-cahaya itu, kita mungkin lupa bahwa perubahan besar sering kali dimulai dari hal kecil: dari hadir tepat waktu, dari mengikuti acara dengan hormat, dari tidak merasa lebih tinggi karena status.
Ada kalimat yang diucapkan Ismail di akhir malam yang layak direnungkan, bukan hanya oleh ASN, tapi oleh kita semua:
“Karakter bukanlah warisan. Ia hasil latihan. Dan latihan dimulai dari kehadiran.”
Malam itu, Tidore tidak hanya menyalakan obor. Ia menyalakan kesadaran. Bahwa pawai adalah bentuk ekspresi iman, dan iman tak hanya dinyatakan dengan ibadah tetapi dengan komitmen sosial.
Dan pada akhirnya, mungkin hanya ada satu pertanyaan penting yang tersisa: saat obor dinyalakan, di mana kita berdiri?.(Red)