Ardiansyah Fauji dan Gaung Indonesia dari Pantai Tugulufa

oleh -24 Dilihat
oleh

TIDORE KEPULAUAN- Malam itu, angin laut berhembus pelan di Pantai Tugulufa. Langit terbuka, bintang-bintang menyimak dalam diam. Di atas panggung sederhana, dengan lampu kuning temaram memantul di wajahnya, Ardiansyah Fauji berdiri. Ia bukan sedang berorasi politik, bukan pula menyampaikan laporan kerja sebagai Ketua Komisi 3 DPRD Kota Tidore. Malam itu, ia membacakan puisi — dan seperti tersulut nyala api yang dalam, ia membuat setiap kata Bung Karno menjadi hidup kembali.

Puisi yang dibacakannya adalah “Aku Melihat Indonesia”, satu dari sekian banyak karya presiden pertama Republik ini yang tak hanya memuat diksi puitis, tapi juga denyut semangat kemerdekaan. Bung Karno menulisnya bukan sekadar sebagai pujangga; ia menulis sebagai penyambung lidah rakyat, menggambarkan Indonesia yang tak sekadar tampak oleh mata, melainkan dirasa oleh jiwa.

“Kebetulan Wali Kota yang request, jadi saya baca dulu,” kata Ardiansyah sebelum membuka pembacaan. Suaranya tenang, namun bermuatan. Dan ketika larik demi larik puisi itu mengalir, hadirin terdiam. Tak sedikit yang mengangguk pelan, larut dalam semesta imaji yang disusun Bung Karno: gunung, sawah, laut, lagu-lagu rakyat semuanya adalah Indonesia.

Bagi sebagian orang, puisi adalah pelengkap. Namun bagi Ardiansyah Fauji, dan mereka yang hadir malam itu, puisi adalah pengingat. Bahwa menjadi Indonesia tidak hanya soal kelahiran, tapi juga kesadaran. Kesadaran akan keindahan, keragaman, dan semangat untuk tetap berdiri sebagai bangsa merdeka, di tengah zaman yang terus berubah.

Apa yang terjadi di Tugulufa malam itu bukan sekadar seremoni memperingati Bulan Bung Karno. Ia adalah bentuk lain dari perlawanan terhadap lupa. Di tengah derasnya arus politik transaksional dan banalitas media sosial, Ardiansyah memilih berdiri dan membacakan sebuah puisi. Sebuah pernyataan simbolik bahwa narasi kebangsaan masih hidup bukan di mimbar-mimbar kampanye, tetapi di hati dan suara mereka yang masih percaya bahwa Indonesia adalah sesuatu yang layak direnungkan.

Dan saat suara Ardiansyah mencapai bait terakhir:

“Aku bukan lagi melihat mata manusia
Aku melihat Indonesia.”

Seolah-olah seluruh Pantai Tugulufa ikut membisu. Sejenak, hadirin bukan hanya mendengar puisi. Mereka menjadi puisi itu sendiri.

Dalam banyak hal, Bung Karno benar. Indonesia bukan hanya tempat. Ia adalah rasa. Ia adalah pandangan, nyanyian, dan udara yang kita hirup bersama. Dan malam itu, di Kota Tidore Kepulauan, rasa itu kembali menemukan nyawanya.(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.