TIDORE — Pemerintahan yang berpihak pada warga, bukan sekadar soal program jangka pendek. Di Tidore Kepulauan, komitmen itu diuji tepat di ujung program 100 hari kerja Wali Kota Muhammad Sinen dan Wakil Wali Kota Ahmad Laiman. Tepat 31 Mei 2025, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-22 Pemerintah Daerah Kota Tidore Kepulauan, evaluasi publik atas janji-janji itu akan dilakukan.
Dalam konferensi pers yang berlangsung tenang namun sarat makna pada Rabu, 28 Mei 2025, Asisten Sekretaris Daerah Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Taher Husain, mengungkap empat program prioritas yang menjadi pilar 100 hari pemerintahan: bantuan pangan gratis, kebijakan Tidore Satu Data, Empat Hari Kerja dan Pembatasan Aktivitas Jumat, serta restrukturisasi organisasi.
“Program pangan gratis bukan hanya soal distribusi, tetapi menyangkut hak dasar warga atas rasa aman ekonomi,” kata Taher. Menurutnya, dalam konteks bulan Ramadhan hingga Idul Fitri dan Idul Adha, langkah ini bukan hanya strategis tapi juga etis. Pemerintah ingin hadir, bukan hanya dengan simbol, tetapi lewat tindakan nyata yang dirasakan mereka yang paling rentan.
Namun dalam semangat program karitatif itu, ada suara yang menuntut konsistensi kebijakan berbasis data. Tidore Satu Data bukan sekadar jargon teknokratis, tapi sebuah bentuk kritik atas fragmentasi data yang sering kali menjadi pangkal kebijakan yang tidak menyentuh akar masalah. “Integrasi data yang akurat dan terpadu adalah prasyarat. Kita tidak bisa terus menerka kebutuhan warga,” tegas Taher.
Berbeda dari kebanyakan daerah yang terlalu fokus pada bantuan pangan sebagai satu-satunya langkah cepat, Tidore justru mencoba menyeimbangkan antara kerja sosial dan tata kelola. Dalam program Empat Hari Kerja dan Pembatasan Aktivitas Jumat, pemerintah menyisipkan nilai spiritualitas dalam manajemen birokrasi. “Ini bukan hanya tentang ritme kerja, tetapi tentang ruh kota santri yang ingin kita bangun bersama,” ucap Taher.
Maka tidak heran, jika restrukturisasi organisasi dianggap sebagai titik tekan paling strategis. Kota yang ingin gesit, kata Taher, tidak bisa terus menanggung birokrasi gemuk yang lambat. “Indeks Reformasi Birokrasi (IRB) Kota Tidore kini di level sangat baik. Tapi angka tidak boleh membuat kita lengah. Harus ada skenario efisiensi yang lebih tepat dan terukur,” ujarnya. Ia menyebut bahwa Kota Tidore Kepulauan bahkan melampaui indeks reformasi birokrasi provinsi Maluku Utara.
Di balik narasi-narasi teknokratis itu, tetap ada pertanyaan yang menggantung Apakah evaluasi 31 Mei nanti akan menjadi ruang partisipatif yang melibatkan suara warga, atau sekadar seremonial pencitraan?
Karena bagi banyak warga Tidore, program 100 hari bukan hanya ajang pembuktian, melainkan juga penanda arah. Apakah kota ini sungguh berlayar menuju cita-cita kota yang aman, nyaman, dan sejahtera bukan hanya dalam pidato, tetapi dalam lumbung pangan warga, dalam kebijakan yang berbasis data, dan dalam pelayanan publik yang bermartabat.(Red)