Gotong Royong di Tepi Pantai Maregam: Ketika Dana Desa Menyentuh Nurani dan Alam

oleh -553 Dilihat
oleh

TIDORE- Di sepanjang garis pantai Maregam, Kecamatan Tidore Selatan, riuh cangkul dan semangat gotong royong menggantikan sejenak sunyi ombak. Di sanalah, gagasan besar tentang pembangunan yang berpihak pada rakyat kecil mengambil bentuk nyata: Padat Karya Tunai (PKTD).

Program ini bukan sekadar proyek pembangunan. Ia adalah wujud keberpihakan negara yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 2 Tahun 2024. Sebuah panduan teknokratis yang mencoba meresonansi dengan denyut kehidupan warga desa. Dengan Dana Desa 2025, negara tidak lagi bicara beton dan aspal semata, tetapi tentang bagaimana sebuah desa bisa berdiri tegak di atas kaki sendiri dengan bahan lokal, tangan warga sendiri, dan keputusan yang diambil bersama.

Di Maregam, warga mulai memahami pembangunan yang baik bukanlah yang dibangun oleh orang luar dengan alat berat dan sistem outsourcing, melainkan yang tumbuh dari diskusi di balai desa dan tenaga dari para tetangga. Para perempuan dilibatkan, kelompok marginal diberdayakan, dan penyandang disabilitas diberikan ruang untuk bekerja. Semua setara dalam satu semangat: gotong royong.

Proses ini tentu tidak mudah. Membangun jalan setapak dengan batu alam lokal, memperkuat sanitasi rumah tangga, menanam pohon pelindung di pesisir semuanya menuntut lebih dari sekadar anggaran. Dibutuhkan akuntabilitas yang tak hanya administratif, tapi juga moral. Dalam musyawarah desa, suara minoritas menjadi bagian dari keputusan kolektif. Transparansi bukan lagi jargon, melainkan praktik sehari-hari.

Dampaknya pun terasa. Bukan hanya terbukanya lapangan kerja temporer, tapi juga terbangunnya rasa percaya antar warga. Mereka tahu ke mana uang desa mengalir, dan lebih penting lagi: mereka tahu mengapa.

Di balik semua ini, ada pelajaran penting bagi birokrasi. Bahwa efektivitas tidak selalu datang dari struktur yang rumit, melainkan dari kepercayaan yang ditanam dan dibagi. PKTD di Maregam memberi isyarat, bahwa jika pembangunan ingin berdampak panjang, ia harus berakar di tanah tempat ia berdiri dan dihuni oleh mereka yang mencintainya.

Di penghujung sore, saat pekerjaan dihentikan sejenak dan teh panas dibagi dalam gelas plastik, warga Maregam tahu: pembangunan ini milik mereka. Bukan proyek, tapi proses. Bukan janji, melainkan jalan bersama. Dan di situlah kekuatan sesungguhnya dari sebuah desa yang sedang membangun dirinya dengan hati, tangan, dan harapan.(AA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.