Di Setiap Coretan Liar, Ada Lupa yang Harus Diingatkan

oleh -76 Dilihat
oleh

TIDORE- Tidore Kepulauan Di antara hamparan laut dan bukit, Tidore berdiri sebagai kota kecil yang membawa sejarah besar. Tapi wajah kota, seperti jiwa manusianya, mudah tercoreng oleh ketidakpedulian kecil. Muhammad Abubakar, Ketua Kamtibmas Polresta Tidore yang dikenal luas dengan inisial M.A, membaca keresahan itu bukan sebagai sekadar masalah ketertiban, tetapi sebagai luka kecil pada martabat bersama.

Dalam wawancara singkat, M.A mengajak generasi muda untuk merenungi satu hal sederhana yang kerap terlupakan: merawat kota berarti merawat diri sendiri.

“Kepada adik-adik semua, mari berpikir lebih jauh. Di tangan kalian, arah negeri ini akan dibentuk,” ucapnya, menatap lebih dalam pada sebuah kenyataan yang tak bisa dihindari: masa depan Tidore terletak bukan di gedung-gedung baru, tetapi di nilai yang tetap dipelihara.

Peringatan itu datang di tengah maraknya coretan-coretan liar di Tugulufa, sebuah area publik yang selama ini menjadi halaman depan kota. Dengan pilox dan spidol, tangan-tangan tak bertanggung jawab menggoreskan bukan hanya warna, tapi juga ketidakpedulian.

“Kita ini Kota Santri. Negeri yang menjunjung tinggi adat dan aturan,” kata M.A. “Setiap coretan sembarangan bukan hanya merusak pemandangan, tapi juga merobek warisan kesopanan yang diajarkan para leluhur.”

Alih-alih langsung mengedepankan tangan besi, Muhammad Abubakar memilih jalan sunyi: peringatan dan pendekatan persuasif. Ada kepercayaan yang ia titipkan di sana: bahwa anak-anak muda Tidore masih mampu memahami, masih mampu berubah.

“Mari bijak dalam bersikap,” katanya. “Sebelum kalian merasakan efek jera dari petugas, saya mendahului dengan peringatan ini.”

Bukan tanpa alasan ia berbicara dengan nada seorang kakak kepada adik-adiknya. M.A bukan orang asing di medan membina generasi. Pernah menjadi Ketua KNPI dua periode, memimpin RAPI dan ASKOT, ia memahami bahwa membangun karakter butuh lebih dari sekadar aturan: ia butuh teladan dan kesabaran.

Di akhir pernyataannya, Muhammad Abubakar meminta satu hal kecil tapi bermakna besar akhiri semua tindakan yang tidak mendidik. Karena kota, seperti manusia, menua bukan hanya dengan usia, tetapi dengan caranya menghormati ruang dan warisan.

Wajah kota, pada akhirnya, adalah cermin dari jiwanya. Dan jiwa itu, hari ini, masih bisa kita jaga kalau mau.(@b)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.