Obat Kadaluarsa dan Luka yang Tak Terlihat: Cerita dari Payahe

oleh -226 Dilihat
oleh

GONONE.ID- Ada peristiwa-peristiwa kecil yang tak tertulis di kalender, tapi tercatat abadi di benak mereka yang mengalaminya. Di Kelurahan Payahe, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan, Jumat pagi 11 April 2025 menjadi salah satunya. Seorang ayah membawa anaknya yang demam ke puskesmas. Seperti warga lainnya, ia berharap pulang dengan obat dan harapan. Yang ia dapat: paracetamol sirup rasa stroberi—dan trauma yang masih membekas hingga hari ini.

Obat itu, belakangan diketahui, telah melewati masa kedaluwarsa. Bukan sekadar habis tanggalnya, tapi juga tertutup rapi dengan label resep dokter. Seolah sistem yang kita percaya justru menyembunyikan kebenaran di balik selapis kertas.

Di ruang Rapat Dengar Pendapat DPRD Kota Tidore, suara Amiruddin Ibrahim menggema dengan pelan namun menukik. “Saya sobek label itu. Saya lihat sendiri, tanggal kadaluarsa sudah lewat,” tuturnya. Anaknya baru tiga tahun empat bulan—usia yang masih polos, yang belum tahu bahwa kepercayaan bisa patah dalam bentuk sebotol obat manis.

Ia datang ke Komisi III DPRD bukan untuk mencari panggung. Ia datang karena tak ingin ada anak lain mengalami hal serupa. “Ini bukan kelalaian,” katanya. “Ini kesengajaan.”

Di seberangnya, Ketua Komisi III, Ardiansyah Fauji, tidak mencoba menghindar. Ia mengakui temuan itu. “Ada empat obat kadaluarsa yang belum dimusnahkan. Salah satunya sempat diberikan kepada pasien,” ungkapnya. Obat yang dimaksud adalah paracetamol sirup 120 mg/5 ml, salah satu obat generik yang paling umum digunakan pada anak-anak.

Menurutnya, sesuai standar operasional prosedur, setiap obat yang akan mendekati masa kedaluwarsa tiga bulan ke depan seharusnya sudah dimusnahkan. Tapi kenyataan di lapangan berbicara lain. SOP itu, entah diabaikan atau dilangkahi, dan hasilnya adalah rasa bersalah kolektif yang kini ditanggung oleh sistem.

Permenkes Nomor 74 Tahun 2016 sejatinya sudah mengatur segalanya. Tentang bagaimana pelayanan kefarmasian di puskesmas harus dijalankan dengan integritas dan akuntabilitas. Tentang bagaimana nyawa, bukan angka, yang menjadi tolok ukur pelayanan.

Ardiansyah—politisi muda dari PDI Perjuangan—berkata dengan nada prihatin, “Puncak tertinggi dari kerja legislator adalah ketika kita melihat sistem bekerja untuk rakyat. Tapi jika ada yang rusak, maka tugas kita bukan hanya menegur, tapi membenahi.”

Ia mengutip prinsip yang kerap luput dalam perdebatan teknis: agroti salus lex suprema. Keselamatan pasien adalah hukum tertinggi.
“Waktu tidak menunggu siapa pun,” ujarnya, “tapi mereka yang menggunakan waktu dengan bijak akan menuai hasilnya.”

Kini, di rumah kecil di Payahe, Amiruddin masih menyimpan botol sirup itu. Mungkin sebagai bukti. Mungkin sebagai pengingat bahwa kepercayaan bisa rapuh bila tidak dijaga.

Anaknya kini sehat, tapi luka itu tidak kasat mata. Ia tidak berbentuk fisik, tidak terdeteksi oleh alat medis, tapi terasa setiap kali seorang warga bertanya: “Apakah aman membawa anakku ke puskesmas?”

Di situlah krisis sebenarnya bermula. Bukan pada botol yang sudah lewat masa pakainya, tapi pada sistem yang membiarkan label menutupi kebenaran. Dan jika itu terus dibiarkan, maka kita sedang menulis resep bagi tragedi yang lebih besar.(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.