Tidore Menunggu Haknya: Ketika Dana Bagi Hasil Menjadi Simbol Ketidakadilan

oleh -152 Dilihat
oleh

TIDORE- Di satu sudut kepulauan yang kaya akan sejarah perjuangan dan semangat maritim, Kota Tidore Kepulauan kini menatap tahun 2025 dengan rasa getir. Bukan karena kurang semangat membangun, tapi karena dana yang seharusnya menjadi hak daerah, masih juga tertahan entah di mana. Dana Bagi Hasil (DBH) senilai Rp43 miliar belum juga cair sejak tahun 2022. Dan pertanyaannya terus menggantung di udara: sampai kapan?

Wali Kota Muhammad Sinen, yang dikenal vokal dan teguh pada prinsip keadilan fiskal, kembali angkat suara. Suaranya bukan sekadar keluhan, tapi pengingat keras kepada Pemerintah Provinsi Maluku Utara—bahwa ketimpangan dalam tata kelola keuangan daerah tak bisa terus dibiarkan.

“Ini bukan uang pemberian. Ini hak Kota Tidore yang harus dikembalikan,” ujar Sinen, Senin (14/4), dengan nada tenang yang menyimpan bara. “Aneh saja, kenapa Halut dan Halbar bisa dibayar lebih dulu sebelum puasa? Sementara kami sejak 2022 belum disentuh sama sekali.”

Pernyataan ini bukan sekadar retorika. Ini refleksi dari realitas birokrasi yang tidak transparan, yang menciptakan kesan bahwa keadilan fiskal bisa dinegosiasikan tergantung siapa yang lebih dulu ‘mengetuk pintu’. Padahal, sistem seharusnya tak berjalan berdasarkan kedekatan atau pertimbangan politis, melainkan pada asas kesetaraan antar wilayah.

Sinen tak tinggal diam. Ia menyebut bahwa Pemerintah Kota sudah berulang kali menyampaikan persoalan ini kepada pihak provinsi melalui jalur resmi. Tapi jawaban yang diterima tak lebih dari angin lalu. “Kami sudah datang, sudah bicara, tapi tetap saja nihil. Maka saya minta dengan hormat, Gubernur segera mendorong BKD dan Dinas Keuangan untuk memperhatikan hak Tidore,” tegasnya.

Ia bahkan melangkah lebih jauh. Jika hingga pekan ini tidak ada kepastian, ia siap memimpin aksi sebagai bentuk protes resmi Pemerintah Kota. Sebuah langkah yang jarang ditempuh seorang kepala daerah, tapi kini menjadi opsi terakhir yang masuk akal di tengah kebuntuan.

“Saya tidak ingin dibatasi aparat keamanan kalau kami harus bersuara. Ini bukan demo liar. Ini tuntutan konstitusional. Dan saya akan pimpin langsung,” ujarnya, menyiratkan bahwa pemerintah kota siap mempertaruhkan reputasi demi menegakkan keadilan fiskal.

Di balik pernyataan itu, tersimpan ironi besar. Kota yang selama ini dikenal sebagai pusat budaya dan sejarah di Maluku Utara, justru harus menjadi korban ketidakjelasan administrasi. Sebuah ironi di tengah gembar-gembor pembangunan berkeadilan.

Kisah DBH Tidore ini, pada akhirnya, bukan semata tentang angka. Ini tentang cara negara memperlakukan wilayahnya. Tentang apakah hak daerah bisa digantung sesuka hati, atau justru dilindungi oleh sistem yang menjunjung keadilan.

Dan ketika seorang wali kota sudah siap memimpin aksi karena hak daerahnya diabaikan, maka itu pertanda bahwa sesuatu yang lebih besar sedang dipertaruhkan: bukan sekadar dana, tapi kepercayaan kepada negara.(AA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.