M A: “Mari Jaga Alam, Agar Alam Menjaga Kita”

oleh -16 Dilihat
oleh

Gonone. id– Dalam suasana yang tenang namun sarat makna, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Abubakar, M.Si yang akrab disapa M A mengeluarkan pernyataan yang tak sekadar teknis, tapi menyentuh relung kesadaran ekologis masyarakat pesisir.

Bicara soal abrasi dan mitigasi bencana, M A tak melulu mengutip teori atau angka-angka statistik. Ia memilih pendekatan yang lebih dalam: budaya, sejarah, dan spiritualitas masyarakat Tidore. Dalam sebuah kesempatan diskusi santai namun sarat makna, M A mengingatkan bahwa mitigasi bukan hal baru.

“Coba kita lihat sepanjang garis pantai Kota Tidore. Orang-orang tua kita dulu sudah menanam pohon sukun. Mereka tahu, secara naluriah dan kearifan lokal, bahwa itu adalah pagar hidup melawan abrasi,” ucapnya dengan suara pelan namun mantap.

M A melanjutkan bahwa upaya menanam mangrove, capilong, hingga sukun adalah bentuk nyata dari mitigasi bencana ekologis. Bukan hanya soal teknis menahan ombak atau memperkuat tanah, tapi juga bentuk cinta terhadap tanah kelahiran.

Namun, di balik semua itu, satu hal yang menurutnya lebih penting dari teknologi maupun perencanaan niat.

“Nawaitu. Kalau tidak diawali dengan niat yang lurus dan fokus, ya percuma. Saya selalu tekankan itu,” ujarnya, seakan ingin menegaskan bahwa kerja mitigasi bukan hanya soal anggaran dan aksi, tapi juga spiritualitas dan keikhlasan.

Pemerintah, kata dia, sudah mulai bergerak. Berbagai usulan masyarakat sedang diproses, menunggu waktu eksekusi. Namun M A menyadari, sebesar apa pun perencanaan, tanpa keterlibatan warga dan kesadaran kolektif, semua akan sia-sia.

Ia pun menutup pernyataannya dengan kalimat yang seperti mantra
“Mari kita jaga alam, agar alam menjaga kita.” Siap sigap Aksi

Sebuah kalimat sederhana, namun mengandung seluruh makna dari perjuangan menghadapi krisis iklim di tingkat lokal. Kalimat yang lahir bukan dari ruang rapat ber-AC, melainkan dari pengamatan sehari-hari, dari akar budaya, dan dari doa orang-orang tua di tanah Tidore.

Dan mungkin, di zaman yang gaduh ini, itu satu-satunya suara yang layak kita dengar lebih saksama.(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.